Jumat, 30 Maret 2012

17 Kelompok Ayat Al Qur’an dalam Penafsiran KH Ahmad Dahlan


BAB I
PENDAHULUAN

KRH Hadjid, alumnus Pondok Pesantren Termas sekaligus murid termuda KH Ahmad Dahlan,  17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah kita. Beliau berkeyakinan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dalam masyarakat dapat diatasi dengan  ketujuh belas kelompok ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah Muhammadiyah itu sendiri.[1]
Adapun 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[2]; (9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat 32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli ‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163; (13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11; (15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd ayat 16.
Demikianlah tujuh belas kelompok ayat al-Qur’an yang selalu ditekankan oleh Allâh Yarhamuhu KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Pada makalah tadabbur al-Qur’an ini kami hanya menyampaikan kelompok pertama yaitu “tazkyatun nufus”, bagaimana seharusnya kita membersihkan diri/jiwa dalam ajaran Mu’assis/Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah kita ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    17 Kelompok Ayat Al Qur’an dalam Penafsiran KH Ahmad Dahlan
 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[3]; (9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat 32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli ‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163; (13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11; (15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd ayat 16.
Demikianlah tujuh belas kelompok ayat al-Qur’an yang selalu ditekankan oleh Allâh Yarhamuhu KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Pada makalah ini kami hanya menyampaikan kelompok pertama, kedua, dan ketiga.

A.      Kegelisahan Ruhiyah atau Spiritual KH Ahmad Dahlan 
KH Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”, asal yang suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia dipangaruhi oleh hawa nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah tangga serta masyarakat sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia tertawan oleh hawa nafsunya sendiri.[4] Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Kalaulah, pada awal mulanya, manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas, lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu? Jika memungkinkan, bagaimanakah cara menuju kepada kesucian itu?
Dalam hemat pandangan kami, inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual” KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi kekuatan ruhiyah yang dahsyat, menembus relung jiwanya yang terdalam serta membangkitkan kekuatan dan iradah untuk beramal.

B.       Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan Kembali Fitrah Yang Hilang
Setelah melakukan tafakkur, muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan pensucian diri/jiwa (tazkyatun nufus). Hal ini dapat dilakukan dengan cara melawan hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kunci kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa kepada Allah merupakan pangkal segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal segala keburukan[5]
Menurut KH Ahmad Dahlan, melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat mengerti Islam dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata beliau, “Belum tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an jika hawa nafsu di dalam hati masih menjadi berhala.”
KH Ahmad Dahlan mengajarkan dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri, dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW. Beliau juga menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam segala sesuatu, baik itu menyangkut perkara aqa’id, ikhlas karena Allah SWT maupun perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita mempu membuang segala kebiasaan buruk itu.[6]
Penjelasan tersebut sepadan dengan pernyataan Imam Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati Penyakit Hati” :
“Mengobati jiwa yang sakit adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan akhlaq-akhlaq buruk, serta mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia. Sama halnya dengan mengobati tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh sehat dan segar buga. Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan normal jiwanya, sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil kebiasaan, pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi menjadi gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[7]

C.      Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun Nufus
Manusia bukanlah Malaikat, sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas kehidupannya dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya tarik kedua makhluk tersebut.
Sudah menjadi ketentuan dan kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia dianugerahkan dua potensi yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa  dan potensi fujur. Kedua potensi ini terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi keadaan jiwa manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana sebaiknya manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat  al-Syams ayat 7-10 :

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا[8].
Dalam berinteraksi dengan kedua potensi yang bertolak belakang tersebut manusia secara garis besarnya akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama, jika Takwa lebih dominan daripada fujur  kecenderungannya ialah dzikrullah[9] dan inilah yang disebut Al-Nafs al-Muthma’innah[10]; kedua, Takwa seimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap mengutamakan akal[11]. Inilah Al-Nafs al-Lawwâmah[12]; ketiga Al-Nafs al-Ammârah bi al- Sû[13] yang merupakan potret dominannya Fujur  daripada takwa dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[14]
Tidak satupun diantara kita selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat berikut ini :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ   [15]
Wujud rahmat Allah SWT kepada kita adalah diturunkannya syari’at yang menata hubungan kita denganNya, interaksi sesama dan juga hubungan kita dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis, sistem syariat inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [16]
Berdasarkan ayat ini, KH Ahmad Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun nufus) yaitu; Dzikrullah, Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir  [kehidupan akherat].[17]
1)      Jalan pertama : Dzikrullah
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [18]
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mau’idzah, juga ketika mereka mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka memahaminya, atuh serta mentaatinya.”[19]
Abdullah ibn Mas’ud RA berkata :
ما كان بين إسلامنا وبين أن عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)
KH Suprapto Ibnu Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[20]
Al-Imam Al-Ghazali berkata :
“Ketahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan dengan Allah SWT. Tidak ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian seorang hamba dalam keadaan cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh cinta dan keakraban takkan tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang berbagai ciptaan, sifat-Sifat  dan perbuatanNya. Di alam wujud ini, yang ada hanyalah Allah SWT serta perbuatan-perbuatanNya. Kita tak akan dapat berdzikir dan tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan mengambil darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk menunaikan dzikrullah.”[21]
Dzikir menurut KH Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut: mengingat dan menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma’ wa shifat), mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah SWT, mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT, menyebut Asma’ dan shifat Allah SWT dengan lisan, dzikir dengan qalbu :  dzikir kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya, sehingga seolah-olah kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله الرحمن الرحيم ; dalam menghadapi kesulitan menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan Allah dengan menyebut : الشكر لله; melihat sesuatu yang haram : سبحان الله; ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika mendapatkan musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله ونعم الوكيل; ingat akan qadla dan qadar Allah SWT : توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة إلا بالله
Selain dari beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan wirid yang telah ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadist-hadist yang shahih/maqbul. KRH Hadjid meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali mengajarkan doa-doa dan wirid kepada murid-muridnya.
2)   Jalan kedua : Menunaikan shalat.
                 Cara membersihkan jiwa dari hawa nafsu juga dengan memperbanyak shalat seperti shalat wajib 5 waktu. Shalat-shalat sunah seperti shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat tahajjud, witir, istkharah, idul fitri, idul adlha, shalat gerhana bulan/matahari, istisqa’i dan lain-lain sebagaimana banyak dijelaskan dalam kitab Fikih.
                 Shalat merupakan sarana terbesar menuju kesucian jiwa, dan pada saat yang sama ia menjadi ukuran dan bukti dalam tazkyatun nufus. Shalat mempertajam makna ‘ubudiyah, tauhid dan syukur. Penegakan shalat secara sempurna dapat memusnahkan segala bentuk kesombongan diri dan ketertipuan diri (ghurur). Shalat mencegah segala bentuk kekejian dan kemunkaran (Al-‘Ankabut : 45).[22]
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْــــــهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُــونَ
                 Rasulullah SAW mengilustrasikan seseorang yang menunaikan shalatnya dengan baik seperti orang yang di depan rumahnya ada sungai. Lalu ia mandi sebanyak lima kali.”Apakah kotorannya masih tersisa di badannya?”, tanya beliau kepada sahabat-sahabatnya. “Tidak, wahai Rasulullah!.” Lanjut Nabi SAW,”Demikian halnya dengan shalat, dengannya Allah SWT menghapus segala kesalahan.”[23]
                 Selain itu dapat pula mentadabburi al-Qaur’an ketika menunaikan shalat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat  14 :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي [24] 
            Ajaran KH Ahmad Dahlan untuk tadabbur Al-Qur’an ketika shalat, dapat mengoptimalkan kehadiran hati serta meningkatkan daya khusyu’ kita.
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا. وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا[25]
3)      Jalan ketiga : Mengingat mati & kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir.
            Pada titik penghayatan terdalam seseorang yang beragama, apapun agamanya, ada pertanyaan “benarkah hidup itu bermakna?.
            Aliran hedonisme menganggap hidup bermakna selama ia memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Oleh karena itu mereka yang meyakininya sangat getol mengarahkan segala aktivitasnya untuk mengejar kenikmatan duniawi semata. Jelas, pandangan ini tidak sejalan dengan ajaran luhur agama, karena kaum hedonis memberikan harga dan makna hidup sebatas pada capaian nikmat fisik. Tentunya durasi kenikmatan fisik, betapapun kemegahannya, amatlah terbatas.
            Lain lagi dengan aliran nihilisme. Aliran ini menyatakan bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan ataupun benda lain yang semuanya berakhir ketika seseorang itu meninggal. Daya hidup mirip batu baterai pada hand-phone yang ketika habis setrumnya, maka semua system yang rumit itu tidak bisa bekerja lagi. Jadi, berbagai pikiran, imajinasi, harapan, dan keyakinan tentang nilai-nilai luhur maupun kehidupan akherat kesemuanya itu hanyalah ilusi belaka.
            Hidup, menurut aliran ini, akan bermakna selama kita beri makna, namun hanya berlaku sebatas kehidupan di dunia ini. Ciri terdekat pemeluk nihilisme ialah menyandarkan makna hidup pada rasa dan keperihatinan kemanusiaan. Oleh karena itu mereka, tampaknya, sangat getol memperjuangkan nasib orang-orang tertindas, memperjuangkan HAM, perbaikan lingkungan, namun tak ada kaitannya dengan iman.[26] Jadi, kedua etika humanisme sekuler ini, pada tataran zahirnya tampak simpatik. Namun keduanya kosong orientasi ukhrawy. Ia menjanjikan kenikmatan jasmani, tapi hampa pada dimensi ruhani.
            Berbeda dengan ajaran Islam. Kedua aliran tersebut di atas, dengan alasan apapun, tidak dapat dibenarkan, meskipun ada sisi baik yang ditampakkannya. Islam mengajarkan bahwa kehidupan hakiki dan abadi ialah kehidupan akherat. Dunia menjadi ladang investasi dan medan berkarya untuk meraik kehidupan yang kekal itu. Dunia bukan tujuan, melainkan sebuah ruang transit, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke negeri akherat. Di sini, mati bermakna sebagai gerbang menuju kampung abadi. Juga menjadi pintu pertemuan kita dengan Sang Khaliq, Dzat Pencipta kita. Di sini pula, Rasulullah SAW melantunkan satu bagian dari doa panjang beliau, “Ya Allah, anugerahi aku rasa rindu dan cinta untuk segera bertemu dengan Dzat-Mu Yang Maha Agung.”
              Dalam pandangan penulis, KH Ahmad Dahlan memandang hidup dan mati seperti itu. Bagi beliau, mati adalah bahaya besar, tetapi lalai dan lupa akan kematian merupakan melapetaka yang jauh lebih besar. Oleh karena itu manusia hendaknya segera ‘membereskan’ segala urusannya, entah itu hablun minallah ataupun hablun minannas. Kepada teman-temannya beliau berpesan :
            “Lengah, kalau terlanjur terus menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan akherat. Maka dari itu jangan sampai lengah, kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya tidak sungguh-sungguh tidak akan berhasil, lebih-lebih mencari keselamatan, kemuliaan di akherat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil.”[27]
Di lain kesempatan beliau berkata :
              “Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama. Tetapi tidak ada satupun yang mengajukan pertanyaan demikian :’Harus bagaimanakah supaja diriku selamat dari api neraka?Harus mengerdjakan perintah apa?Beramal apa?Mendjauhi dan meninggalkan apa?’.”[28]
              Dari sini, tampak bahwa dorongan kematian menduduki posisi istimewa dalam pandangan beliau tentang makna kehidupan. Mati ditafsirkan sebagai sesuatu yang positif. Keyakinan inilah yang kemudian yang melahirkan energi dan stamina  ruhiyah dahsyat pada diri beliau untuk berbuat dan berkarya nyata.
              Tentang kesucian jiwa yang beliau ajarkan kepada murid-muridnya, KH Ahmad Dahlan masih menggugah kesadaran. Apakah “kesucian diri” sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Budha dan Nasrani juga mengakui hal serupa? “Apakah kamu seperti mereka?”, kata KH Ahmad Dahlan menggugah murid-muridnya.[29] Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata.
                 Beliau juga menyatakan kepada mereka, dan juga kepada kita semua saat ini,  “Bahkan kamu masih terpengaruh kehidupan dunia, masih   memilih kehidupan dunia, belum bisa menghadap kepada Allah SWT, belum memilih Allah, dengan bukti masih cinta kepada harta benda, tidak suka mempergunakan harta benda untuk digunakan di jalan Allah. Kamu tidak menghargai anak yatim, tidak memberi makan kepada fakir miskin, masih membedakan antara orang kaya dan miskin. Apakah hasil dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda.”[30]
                 Dengan pernyataan yang menggugah tersebut KH Ahmad dahlan sejatinya mengingatkan kita agar tidak mengalami disorientasi hidup. Kita diminta untuk selalu bermuhasabah tentang tujuan terjauh dari penciptaan dan kehidupan di dunia ini. Kata beliau,”Bagaimanakah akibatnya pada diriku di Hari Akhir? Apa gerangan yang menjadi kesudahan hidup ini di hadapan mahkamah Allah Yang Maha Agung?Apakah diriku akan disiksa karena aku tidak taat mengamalkan perintah-perintahNya?Ataukah aku akan mendapatkan keridlaanNya karena ikhlas beribadah kepadaNya serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?.”
                     Di atas sebuah papan tulis, dekat dengan meja kerjanya, KH ahmad Dahlan menulis dalam bahasa Arab :
يَادَحْلاَنُ، إِنَّ اْلهَوْلَ أَعْظَمُ وَاْلأُمُوْرُ اْلمُفْظِعَاتُ أَمَامَكَ وَلاَبـُدَّلَكَ مِنْ مُشَاهَدَةِ ذَلِكَ إِمَّا بِالنَّجَاةِ وَإِمَّا بِاْلعَطَبِ...يَادَحْلاَنُ، قـَدِّرْ نَفْسَكَ مَعَ اللهِ وَحْدَكَ وَبَيْنَ يَدَيـْكَ ْالَموْتُ وَاْلعَرْضُ وَاْلحِسَابُ وَاْلجَنَّةُ وَالنَّارُ وَتَـأَمَّلْ فِيْـمَايـُدْنِـيْـكَ مِمَّا بَيْنَ يَدَيـْكَ وَدَعْ عَنْكَ مَاسِوَاهُ.[31]


D.      Mendustakan Agama & Berhala Cinta Harta[32]
Pada kelompok ayat pertama sebelumnya, KH Ahmad Dahlan mengajarkan  kita bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kembali fitrah yang hilang dan kembali kepada poros utama penciptaan kita ialah dengan melakukan tazkyatun nufus, mensucikan jiwa dari berbagai kontaminasi berhala hawa nafsu yang merusak. Namun, ini tidak menjadi limit dan terminal akhir dari perjalanan spiritual menuju fitrah. Kesucian jiwa tidak boleh sebatas klaim sepihak dari diri kita. Toh, kata beliau, penganut agama lain seperti    Hindu, Budha dan Nasrani juga menyatakan hal serupa. Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata (ritual formal, mu’amalah ma’allah yang vertikal).
Inilah esensi keimanan yang mendalam. Iman dalam rumusan para ulama diyatakan sebagai ”keyakinan dengan hati, penegasan dengan lisan serta pembuktian dengan amal orga jasad kita”. Artinya, iman berdimensi tiga sekaligus. Tidak terwujudnya salahsatu diantara tiga hal tersebut, secara otomatis mencederai makna iman itu sendiri.
Berbeda dengan kaum Murji’ah, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Taymiyah,[33] menyatakan bahwa, iman hanyalah keyakinan atau perbuatan hati semata, tanpa aktualisasi kongkret. Mereka populer dengan doktrin ”لاتضر مع الإيمان معصية كما لا تنفع مع الكفر طاعة [34](derajat keimanan tidak akan berkurang karena laku maksiat, sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT tidak akan mempengaruhi kekufuran).
Kaum Murji’ah dengan varian yang lain, Al-Karamiyah, menyatakan iman ialah pernyataan lisan semata. Yang lain, versi Murji’ah Fuqaha’, menyatakan, iman cukup dengan keyakinan hati dan pernyataan verbal. Ketiga rumusan Murji’ah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, mereka tidak memerlukan amal sebagai aktualisasi kongkret keimanan yang bersemayam di hati manusia.
Spirit yang dipancarkan oleh gerak-dakwah KH Ahmad Dahlan tentunya meluluh-lantahkan dogma-dogma teologis ’sempalan’ (baca : menyimpang) sebagaimana digagas oleh kaum Murji’ah di atas. Bahkan, berbagai prestasi kesalehan pribadi dalam wujud ritual vertikal semata, digugat. ”Apakah hasil dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda” kata KH Ahmad Dahlan[35] membangkitkan kesadaran dan empati sosial murid-muridnya, termasuk kita saat ini.
Dalam satu kesempatan KH Ahmad Dahlan berkata demikian,
Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri, Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentigan agama? Itulah yang lebih diperluka pada waktu sekarang ini.[36]
            Nilai ajaran berupa ketulusan berbuat kebaikan dan mengorbankan harta benda yang ditauladankan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut berlandaskan pada surat Al-Ma’un ayat 1-7 :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (الْمَاعُونَ: 1-7)[37]
            Dalam satu kisah disebutkan, KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat ini berulang kali, sehingga beberapa hari pelajaran tidak bertambah. Haji Syuja’, salah satu murid beliau bertanya “kok pelajaran tidak ditambah?”. Beliau kembali bertanya kepada murid-muridnya apakah betul-betul telah dimengerti. Haji Syuja’ menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya telah hafal semua. Kyai bertanya, “Apa sudah diamalkan?”. Dijawab, “kami telah berulang kali membacanya ketika shalat.” “Bukan itu yang kumaksud. Diamalkan berarti dikerjakan, dipraktekkan”, jelas Kyai. “Oleh karena itu”, lanjut Kyai, “mulai pagi ini pergilah berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah mendapat, bawalah pulang ke rumah masing-masing. Berilah mereka sabun yang baik untuk mandi, berilah pakaian yang bersih, berilah makanan, minuman dan temat tinggal untuk tidur di rumah kamu sekalian. Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.”[38]
            Jika kita bertanya, seberapa dalamkah makna surat Al-Ma’un menembus relung jiwa KH Ahmad Dahlan (?). Betapa tidak, dengan tujuh ayat ini, dan dikdukung oleh ayat-ayat lainnya, beliau mampu mengawali dakwahnya dengan aksi untuk kemanusiaan yang tercatat oleh tinta emas sejarah Islam Indonesia, di saat kita, mungkin saja, telah menghafal ratusan ayat Al-Qur’an, namun seringkali minus bukti nyata.
            Penulis merenung sejenak, mencoba mereka-reka ’apa yang menjadi kegelisahan KH Ahmad Dahlan ketika membaca ayat ini’ : ” Tahukah kamu (orang) yang mendustakan al-Din?”. Al-Imam Ibnu Jarir al-Thabary menjelaskannya sebagai sikap mendustakan hukum dan imbalan Allah SWT.[39] Al-Imam Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai pengingkaran terhadap imbalan dan penghitungan Allah SWT terhadap hamba-hambaNya di hari Akhir.[40] ”Tidakkah kau wahai Muhammad, melihat orang yang telah mendustakan hari di mana mereka akan dikembalikan, dibalas, dan diberi ganjaran (din)?”, terang Ibnu Katsir.[41]
Menurut Al-Maraghi, ayat ini menunjukkan sebuah pertanyaan dengan penuh keheranan, dengan maksud agar si pembaca tertarik untuk mengetahui siapa yang dimaksud. Orang seperti ini telah menjerumuskan dirinya kepada sesuatu yang sangat berbahaya dan meyengsarakan dirinya; ia mendustakan suatu realitas absolut di balik yang terindera,  berkenaan dengan perkara-perkara ilahiyah (ghaibiyat) yang tak kan mungkin terjangkau hakekatnya oleh manusia. Realitas tersebut hanya dapat ditangkap oleh manusia melalui bukti-bukti ciptaanNya. Semua itu (semestinya) membangkitkan naluri untuk patuh dan tunduk serta yakin akan eksistensi Allah SWT dan keesaan-Nya, membenarkan kehidupan akherat, di mana mereka aka dihadapkan kepada Allah SWT untuk menerima balasan : semuanya telah didustakan![42]
Al-Imam Sayyid Qutb menerangkan bahwa sikap mendustakan agama diwujudkan dalam bentuk kehilangan empati dan kepedulian terhadap anak yatim, termasuk tidak tertarik untuk mengajurkan orang lain untuk memberi makanan kepada fakir miskin. Jika sikap membenarkan agama telah bersemayam mantap di hatinya, tidak mungkin ia melalaikan kewajiban sosial tersebut. Sikap tashdiq  semestinya membangkitkannya untuk berbuat kebaikan kepada sesama, bukan sekedar pernyataan lisan.
Agama Islam, dalam padangan Sayyid Quthb,bukanlah agama simbol dan lambang semata. Tidaklah cuku beragama degan hanya menonjolkan simbol dan syiar ritual/ibadah saja, jika tidak didasari atas keikhlasan kepada Allah SWT. Sikap ikhlas mendorong kita untuk melakukan amal sholeh yang tercermin dalam prilaku da aksi untuyk memperbaiki dab meningkatkan tarap hidup umat manusia di muka bumi ini.
Agama Islam, lanjutnnya, bukan ula aturan-aturan yang parsial, terpilah-pilah  serta terlepas antara satu dengan yang lainnya; manusia tidak dapat bertindak dan meninggalkan sesuatu sekehendaknya. Teta Islam adalah manhaj ”sistem” yang saling terkait dan melengkapi, saling berkolerasi erat antara ritual vertikal dan tugas individu serta keharusan sosialnya. Semuanya berorientasi kepada kepentingan manusia dengan tujuan mensucikan hati, memperbaiki kehidupan, tolong menolong serta bahu membahu untuk sebuah karya kebaikan  dan kesalehan bersama. Inilah yang mencerminkan rahmat Allah SWT atas hamba-hambaNya.[43]
Dalam pandangan penulis, dari berbagai tafsiran para ulama, kata ”din”, penulis lebih cenderung untuk dimaknai sebagai ”agama” yang merupakan satu kesatuan sistem ajaran menyeluruh yang diturunkan oleh Allah SWT untuk kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akherat. Dengan demikian, takdzib bi al-din (mendustakan agama) berarti mengingkari keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW, lahir maupun batin. Mengingkari seluruh kandugan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Tentunya, pemaknaan yang sedemikian lebih berat dan lebih tajam merasuk ke relung qalbu kita yang suci. Berbeda, jika ”din” yang dimaknai sebagai yaum al-akhir, yang merupakan salah satu cabang dari perkara keimanan.
Anak yatim, dalam pandangan Islam, amatlah mulia. Keberadaannya yang diikuti dengan sikap empati dan uluran kebaikan, menjadi garansi kemuliaan pelakuanya di sisi Allah SWT. Bahkan mencederai hak-haknya menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang membiasakan pelakunya.
Tentang firman Allah “وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ “, Prof. Quraish Shihab menggaris-bawahi tentang gaya bahasa dan redaksional yang tertulis. Pertama, ayat ii tidak berbicara tentang kewajiban “memberi makanan” (إطعام), tetapi berbicara tentang kewajiban “menganjurka memberi makan”. Ini berarti bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai “penganjur memberi makanan kepada orang miskin”. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak mampu secara langsung memberi santunan dan perhatian kepada fakir miskin, minimal kita harus menganjurkan orang-orang yang berkemampuan memperhatika nasib mereka.
Pesan ini dapat dilakukan oleh siapapun, selama mereka dapat merasakan penderitaan orang lain. Ini berarti ula bahwa ayat tersebut mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan dan kebutuhan orang lain, walaupun ia sendiri tidak mampu megulurkan bantuan materi kepada mereka. Jadi, ayat di atas tidak memberi peluang sedikitpun untuk tidak berpartisipasi memberikan perhatian kepada setiap orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
Kedua, ayat tersebut tidak menggunakan redaksi (إطعام) yang artinya “memberi makan”, tetapi menggunakan kata “طعام” yang artinya “makanan atau pangan”. Ini merupakan peringatan agar setiap orang yan g menganjurka atau yag memberi, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang membutuhkan.[44]
            Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan, tafsiran surat Al-Ma’un di atas, ditegaskan pula oleh firman Allah SWT berikut ini :
كَلَّا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا. وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (الفجر: 17-23)[45]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ  ( التوبة : 34-35)[46]

Surat Taubah termaktub di atas, sangat menggocangkan hati KH Ahmad Dahlan dan menimbulkan semangat yang berkobar-kobar untuk mengorbankan harta benda. Banyak kalangan ulama yang berpedapat bahwa ayat tersebut di address-kan sebagai ancaman orang yang engga mengeluarkan zakat. Lalu dipahami, jika telah berzakat aman dari ancaman siksa yang pedih. KH Ahmad Dahlan berpedapat bahwa ayat tersebut tidak hanya megancam orang yang enggan mengeluarkan zakat saja, tetapi juga acaman bagi orang yang menyimpan harta beda untuk kepentingan diri sendiri, tidak mendermakannya di jalan Allah SWT. Mereka ini diacam dengan siksa yang pedih.[47]
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ
 وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا ًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 








BAB III
KESIMPULAN

17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[48]; (9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat 32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli ‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163; (13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11; (15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd ayat 16.













DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Tafsir Al-Qur’a Kontemporer Juz Amma (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cetakan V, Jilid I, hal. 105.
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 263-264
M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 58-59


[1]  KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 2-4
[2] KH Ahmad Dahlan diriwayatkan pula sering menukil perkataan ahli hikmah berikut ini :
الناس كلهم موتىَ إلا العلماء والعلماء متحيِّرون إلاالعاملون والعاملون على وجلٍ إلا المخلصون
[3] KH Ahmad Dahlan diriwayatkan pula sering menukil perkataan ahli hikmah berikut ini :
الناس كلهم موتىَ إلا العلماء والعلماء متحيِّرون إلاالعاملون والعاملون على وجلٍ إلا المخلصون
[4] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47
[5] Ibid…hal. 48
[6] Ibid…hal. 48-51
[7] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta: Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1, hal.33
[8] Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
[9] Surat Ali Imran : 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[10]  [Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي 
[11] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
[12] [Al-Qiyamah :2] وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة ِ
[13][Yusuf :53] إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
[14]       زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا(مريم:59)
[15] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]
[16] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]
[17] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 52-60                                                                             
[18] Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)
[19] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim,  IV/311
[20] Ibnu Juraimi, “Optimalisasi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah Islam Kontemporer; Tantangan dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet. 1, hal. 204
[21] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2000), Cet. Ke-3, hal. 100
[22] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin … hal. 33
[23] ( أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمسا ما تقول ذلك يبقي من درنه ) . قالوا لا يبقى من درنه شيئا قال ( فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بها الخطايا )  HR Bukhari & Muslim
[24] “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Ra’d ayat 28 berikut ini  :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
[25] “ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.”
[26] Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (Bandung : Hikmah, 2006), Cet. VII, hal. 73-75
[27] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 66
[28] Ibid. hal. 67
[29] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 57-58
[30] Ibid, hal. 58-59
[31] “Hai Dahlan, Sungguh bahaya yang menyusahkan itu lebih besar dan perkara-perkara yang mengejutkan ada di hadapanmu, dan pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, entah dengan selamat ataupun dengan kebinasaan. Hai Dahlan, bayangkanlah hanya  dirimu sendiri berhadapan dengan Allah, sementara di depanmu ada maut yang menanti, ditampakkan segala urusan, penghitungan atas segala amal, juga ada surga dan ada neraka. Dan renungkanlah apa-apa yang mendekatimu dari sesuatu yang ada di hadapanmu, yaitu maut, dan tinggalkanlah dari dirimu selain itu.”

[32] Makalah Tadabbur Al-Qur’an disampaikan dalam acara qiyamullail  kader IMM di Universitas Ahmad  Dahlan, Ahad 2 Jumadal Akhir 1428 H/17 Juni 2007 H
[33] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa, VII/195. Lihat juga, Muhammad Ba Karim Muhammad Ba Abdullah, Wasathiyatu Ahlis Sunnah Baya Al-Firaq, hal. 335-336
[34]  Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, I/139
[35] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 58-59
[36] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
[37] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan  enggan (menolong dengan) barang berguna.
[38] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan…hal. 71-72. Menukil dari, KH Asnawi Hadisiswaja, Kyahi Hadji Ahmad Dahlan, dalam Pandji Masjarakat, No. 3, Tahun 1959, hal. 17
[39] Tafsir Al-Thabari, XII/705
[40] Tafsir Al-Qurthuby, XX/193
[41] Ibnu Katsir, IV/558
[42] Tafsir Al-Maraghi, X/498-499
[43] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 263-264
[44] Amiruddin, Tafsir Al-Qur’a Kontemporer Juz Amma (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cetakan V, Jilid I, hal. 105.
[45] Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal Aam dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
[46] Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".
[47] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan…hal. 72