BAB I
PENDAHULUAN
KRH Hadjid, alumnus Pondok
Pesantren Termas sekaligus murid termuda KH Ahmad Dahlan, 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok
wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah kita. Beliau
berkeyakinan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dalam masyarakat dapat
diatasi dengan ketujuh belas kelompok
ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris
Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah
Muhammadiyah itu sendiri.[1]
Adapun 17 kelompok ayat
Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan
Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah
ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat
17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4)
Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah
ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût
ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[2];
(9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad
ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat
32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan
al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli
‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163;
(13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11;
(15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm
ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd
ayat 16.
Demikianlah tujuh belas
kelompok ayat al-Qur’an yang selalu ditekankan oleh Allâh Yarhamuhu
KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Pada makalah tadabbur al-Qur’an
ini kami hanya menyampaikan kelompok pertama yaitu “tazkyatun nufus”, bagaimana
seharusnya kita membersihkan diri/jiwa dalam ajaran Mu’assis/Pendiri
Persyarikatan Muhammadiyah kita ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
17 Kelompok Ayat Al Qur’an
dalam Penafsiran KH Ahmad Dahlan
17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok
wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai
berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah ayat 23; (2)
Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat 17-23; (3)
Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4) Apakah artinya
agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah ayat
34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût
ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[3];
(9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad
ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat
32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan
al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli
‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163;
(13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11;
(15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm
ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd
ayat 16.
Demikianlah tujuh belas
kelompok ayat al-Qur’an yang selalu ditekankan oleh Allâh Yarhamuhu
KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Pada makalah ini kami hanya menyampaikan
kelompok pertama, kedua, dan ketiga.
A. Kegelisahan Ruhiyah atau Spiritual
KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan menjelaskan
bahwa asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”, asal yang
suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia
dipangaruhi oleh hawa nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah
tangga serta masyarakat sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia
tertawan oleh hawa nafsunya sendiri.[4]
Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ
يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Kalaulah, pada awal mulanya,
manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas,
lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak
memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu?
Jika memungkinkan, bagaimanakah cara menuju kepada kesucian itu?
Dalam hemat pandangan kami,
inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual”
KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul
merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi
kekuatan ruhiyah yang dahsyat, menembus relung jiwanya yang terdalam serta
membangkitkan kekuatan dan iradah untuk beramal.
B. Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan
Kembali Fitrah Yang Hilang
Setelah melakukan tafakkur,
muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan
pensucian diri/jiwa (tazkyatun nufus). Hal ini dapat dilakukan dengan
cara melawan hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW. Inilah kunci kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa
kepada Allah merupakan pangkal segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa
nafsu menjadi pangkal segala keburukan[5]
Menurut KH Ahmad Dahlan,
melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat
dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri
dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat mengerti Islam
dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata beliau, “Belum
tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an jika hawa nafsu di dalam
hati masih menjadi berhala.”
KH Ahmad Dahlan mengajarkan
dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri,
dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah
Nabi SAW. Beliau juga menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam
segala sesuatu, baik itu menyangkut perkara aqa’id, ikhlas karena Allah
SWT maupun perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita
mempu membuang segala kebiasaan buruk itu.[6]
Penjelasan tersebut sepadan
dengan pernyataan Imam Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati
Penyakit Hati” :
“Mengobati jiwa yang sakit
adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan akhlaq-akhlaq buruk, serta
mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia. Sama halnya dengan mengobati
tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh sehat dan segar buga. Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan normal jiwanya,
sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala pengaruh. Tetapi
akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut agama Yahudi,
Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil kebiasaan,
pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi menjadi
gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[7]
C. Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun
Nufus
Manusia bukanlah Malaikat,
sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas
kehidupannya dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya
tarik kedua makhluk tersebut.
Sudah menjadi ketentuan dan
kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia
dianugerahkan dua potensi yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa
dan potensi fujur. Kedua
potensi ini terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi
keadaan jiwa manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana
sebaiknya manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan
oleh Allah SWT dalam surat al-Syams ayat
7-10 :
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ
خَابَ مَنْ دَسَّاهَا[8].
Dalam berinteraksi dengan
kedua potensi yang bertolak belakang tersebut manusia secara garis besarnya
akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama, jika Takwa lebih
dominan daripada fujur kecenderungannya
ialah dzikrullah[9]
dan inilah yang disebut Al-Nafs al-Muthma’innah[10];
kedua, Takwa seimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap
mengutamakan akal[11].
Inilah Al-Nafs al-Lawwâmah[12];
ketiga Al-Nafs al-Ammârah bi al- Sû[13]
yang merupakan potret dominannya Fujur
daripada takwa dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[14]
Tidak satupun diantara kita
selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan
rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus
mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh
Allah SWT dalam ayat berikut ini :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ
النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ
رَحِيمٌ
[15]
Wujud rahmat Allah SWT kepada
kita adalah diturunkannya syari’at yang menata hubungan kita denganNya, interaksi
sesama dan juga hubungan kita dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis,
sistem syariat inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq
dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah
SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [16]
Berdasarkan ayat ini, KH Ahmad
Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun nufus)
yaitu; Dzikrullah, Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum
al-Akhir [kehidupan akherat].[17]
1) Jalan pertama : Dzikrullah
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ
ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ
الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [18]
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang
beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mau’idzah, juga
ketika mereka mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka memahaminya, atuh serta
mentaatinya.”[19]
Abdullah ibn
Mas’ud RA berkata :
ما كان بين إسلامنا وبين أن
عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)
KH Suprapto Ibnu
Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan
bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran
dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu
menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan
tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya
terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan
usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[20]
Al-Imam Al-Ghazali
berkata :
“Ketahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah
mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan
dengan Allah SWT. Tidak ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian
seorang hamba dalam keadaan cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh
cinta dan keakraban takkan tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang
berbagai ciptaan, sifat-Sifat dan
perbuatanNya. Di alam wujud ini, yang ada hanyalah Allah SWT serta
perbuatan-perbuatanNya. Kita tak akan dapat berdzikir dan
tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan mengambil
darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk
menunaikan dzikrullah.”[21]
Dzikir menurut KH Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut: mengingat dan menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma’ wa shifat), mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah SWT, mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT, menyebut Asma’ dan shifat Allah SWT dengan lisan, dzikir dengan qalbu : dzikir kepada
Allah SWT dengan sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya,
sehingga seolah-olah kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan
berdiri, duduk, berbaring di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله الرحمن
الرحيم ; dalam menghadapi kesulitan
menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan Allah dengan menyebut : الشكر لله; melihat sesuatu yang haram : سبحان الله; ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika
mendapatkan musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله ونعم
الوكيل; ingat akan qadla dan qadar
Allah SWT : توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة إلا
بالله
Selain dari beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan
wirid yang telah ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadist-hadist yang shahih/maqbul. KRH Hadjid
meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali mengajarkan doa-doa dan wirid
kepada murid-muridnya.
2) Jalan kedua : Menunaikan
shalat.
Cara membersihkan jiwa dari hawa nafsu juga dengan
memperbanyak shalat seperti shalat wajib 5 waktu. Shalat-shalat sunah seperti
shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat tahajjud, witir, istkharah,
idul fitri, idul adlha, shalat gerhana bulan/matahari, istisqa’i dan
lain-lain sebagaimana banyak dijelaskan dalam kitab Fikih.
Shalat merupakan sarana terbesar menuju kesucian
jiwa, dan pada saat yang sama ia menjadi ukuran dan bukti dalam tazkyatun nufus.
Shalat mempertajam makna ‘ubudiyah, tauhid dan syukur. Penegakan shalat
secara sempurna dapat memusnahkan segala bentuk kesombongan diri dan
ketertipuan diri (ghurur). Shalat mencegah segala bentuk kekejian dan
kemunkaran (Al-‘Ankabut : 45).[22]
إِنَّ الصَّلَاةَ
تَنْــــــهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُــونَ
Rasulullah SAW mengilustrasikan seseorang yang
menunaikan shalatnya dengan baik seperti orang yang di depan rumahnya ada
sungai. Lalu ia mandi sebanyak lima kali.”Apakah kotorannya masih tersisa di
badannya?”, tanya beliau kepada sahabat-sahabatnya.
“Tidak, wahai Rasulullah!.” Lanjut Nabi SAW,”Demikian halnya dengan shalat,
dengannya Allah SWT menghapus segala kesalahan.”[23]
Selain itu dapat pula mentadabburi al-Qaur’an
ketika menunaikan shalat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
Thaha ayat 14 :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي [24]
Ajaran
KH Ahmad Dahlan untuk tadabbur Al-Qur’an ketika shalat, dapat
mengoptimalkan kehadiran hati serta meningkatkan daya khusyu’
kita.
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ
سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا
لَمَفْعُولًا. وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا[25]
3) Jalan ketiga : Mengingat mati
& kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir.
Pada titik penghayatan terdalam seseorang yang beragama, apapun agamanya,
ada pertanyaan “benarkah hidup itu bermakna?.
Aliran hedonisme menganggap hidup bermakna selama ia
memberikan kenyamanan dan kenikmatan. Oleh karena itu mereka yang meyakininya
sangat getol mengarahkan segala aktivitasnya untuk mengejar kenikmatan duniawi
semata. Jelas, pandangan ini tidak sejalan dengan ajaran luhur agama, karena
kaum hedonis memberikan harga dan makna hidup sebatas pada capaian nikmat
fisik. Tentunya durasi kenikmatan fisik, betapapun kemegahannya, amatlah
terbatas.
Lain lagi dengan aliran nihilisme. Aliran ini menyatakan
bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan ataupun benda lain yang semuanya
berakhir ketika seseorang itu meninggal. Daya hidup mirip batu baterai pada hand-phone
yang ketika habis setrumnya, maka semua system yang rumit itu tidak bisa
bekerja lagi. Jadi, berbagai pikiran, imajinasi, harapan, dan keyakinan tentang
nilai-nilai luhur maupun kehidupan akherat kesemuanya itu hanyalah ilusi
belaka.
Hidup, menurut aliran ini, akan bermakna selama kita beri
makna, namun hanya berlaku sebatas kehidupan di dunia ini. Ciri terdekat
pemeluk nihilisme ialah menyandarkan makna hidup pada rasa dan keperihatinan
kemanusiaan. Oleh karena itu mereka, tampaknya, sangat getol memperjuangkan
nasib orang-orang tertindas, memperjuangkan HAM, perbaikan lingkungan, namun
tak ada kaitannya dengan iman.[26]
Jadi, kedua etika humanisme sekuler ini, pada tataran zahirnya tampak simpatik.
Namun keduanya kosong orientasi ukhrawy. Ia menjanjikan kenikmatan jasmani,
tapi hampa pada dimensi ruhani.
Berbeda dengan ajaran Islam. Kedua aliran tersebut di atas, dengan alasan
apapun, tidak dapat dibenarkan, meskipun ada sisi baik yang ditampakkannya.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan hakiki dan abadi ialah kehidupan akherat.
Dunia menjadi ladang investasi dan medan berkarya untuk meraik kehidupan yang
kekal itu. Dunia bukan tujuan, melainkan sebuah ruang transit, untuk kemudian
meneruskan perjalanan ke negeri akherat. Di sini, mati bermakna sebagai gerbang
menuju kampung abadi. Juga menjadi pintu pertemuan kita dengan Sang Khaliq,
Dzat Pencipta kita. Di sini pula, Rasulullah SAW melantunkan satu bagian dari
doa panjang beliau, “Ya Allah, anugerahi aku rasa rindu dan cinta untuk segera
bertemu dengan Dzat-Mu Yang Maha Agung.”
Dalam pandangan penulis, KH Ahmad Dahlan memandang
hidup dan mati seperti itu. Bagi beliau, mati adalah bahaya besar, tetapi lalai
dan lupa akan kematian merupakan melapetaka yang jauh lebih besar. Oleh karena
itu manusia hendaknya segera ‘membereskan’ segala urusannya, entah itu hablun
minallah ataupun hablun minannas. Kepada teman-temannya beliau
berpesan :
“Lengah, kalau terlanjur terus menerus lengah, tentu akan
sengsara di dunia dan akherat. Maka dari itu jangan sampai
lengah, kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya tidak sungguh-sungguh tidak akan berhasil, lebih-lebih mencari keselamatan, kemuliaan di
akherat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan
berhasil.”[27]
Di lain kesempatan beliau
berkata :
“Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama. Tetapi tidak ada satupun yang mengajukan pertanyaan demikian :’Harus
bagaimanakah supaja diriku selamat dari api neraka?Harus mengerdjakan perintah
apa?Beramal apa?Mendjauhi dan meninggalkan apa?’.”[28]
Dari sini, tampak bahwa dorongan kematian menduduki
posisi istimewa dalam pandangan beliau tentang makna kehidupan. Mati
ditafsirkan sebagai sesuatu yang positif. Keyakinan inilah yang kemudian yang
melahirkan energi dan stamina ruhiyah
dahsyat pada diri beliau untuk berbuat dan berkarya nyata.
Tentang kesucian jiwa yang beliau ajarkan kepada
murid-muridnya, KH Ahmad Dahlan masih menggugah kesadaran. Apakah “kesucian
diri” sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Budha dan Nasrani juga
mengakui hal serupa? “Apakah kamu seperti mereka?”, kata KH Ahmad Dahlan
menggugah murid-muridnya.[29]
Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial.
Tidak boleh berhenti pada level individu semata.
Beliau
juga menyatakan kepada mereka, dan juga kepada kita semua saat ini, “Bahkan kamu masih terpengaruh kehidupan
dunia, masih memilih kehidupan dunia,
belum bisa menghadap kepada Allah SWT, belum memilih Allah, dengan bukti masih
cinta kepada harta benda, tidak suka mempergunakan harta benda untuk digunakan
di jalan Allah. Kamu tidak menghargai anak yatim, tidak memberi makan kepada
fakir miskin, masih membedakan antara orang kaya dan miskin. Apakah hasil dari
dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?,
terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta
benda.”[30]
Dengan pernyataan yang menggugah tersebut KH Ahmad
dahlan sejatinya mengingatkan kita agar tidak mengalami disorientasi hidup.
Kita diminta untuk selalu bermuhasabah tentang tujuan terjauh dari penciptaan
dan kehidupan di dunia ini. Kata beliau,”Bagaimanakah akibatnya pada diriku di
Hari Akhir? Apa gerangan yang menjadi kesudahan hidup ini di hadapan mahkamah
Allah Yang Maha Agung?Apakah diriku akan disiksa karena aku tidak taat
mengamalkan perintah-perintahNya?Ataukah aku akan mendapatkan keridlaanNya
karena ikhlas beribadah kepadaNya serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah
SAW?.”
Di atas sebuah papan tulis, dekat dengan meja
kerjanya, KH ahmad Dahlan menulis dalam bahasa Arab :
يَادَحْلاَنُ، إِنَّ اْلهَوْلَ
أَعْظَمُ وَاْلأُمُوْرُ اْلمُفْظِعَاتُ أَمَامَكَ وَلاَبـُدَّلَكَ مِنْ
مُشَاهَدَةِ ذَلِكَ إِمَّا بِالنَّجَاةِ وَإِمَّا بِاْلعَطَبِ...يَادَحْلاَنُ،
قـَدِّرْ نَفْسَكَ مَعَ اللهِ وَحْدَكَ وَبَيْنَ يَدَيـْكَ ْالَموْتُ وَاْلعَرْضُ
وَاْلحِسَابُ وَاْلجَنَّةُ وَالنَّارُ وَتَـأَمَّلْ فِيْـمَايـُدْنِـيْـكَ مِمَّا
بَيْنَ يَدَيـْكَ وَدَعْ عَنْكَ مَاسِوَاهُ.[31]
D. Mendustakan Agama & Berhala Cinta
Harta[32]
Pada kelompok ayat pertama sebelumnya, KH
Ahmad Dahlan mengajarkan kita bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kembali
fitrah yang hilang dan kembali kepada poros utama penciptaan kita ialah dengan
melakukan tazkyatun nufus, mensucikan jiwa dari berbagai kontaminasi
berhala hawa nafsu yang merusak. Namun, ini tidak menjadi limit dan terminal
akhir dari perjalanan spiritual menuju fitrah. Kesucian jiwa tidak boleh
sebatas klaim sepihak dari diri kita. Toh, kata beliau, penganut agama lain
seperti Hindu, Budha dan Nasrani juga
menyatakan hal serupa. Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan
dalam kesalehan sosial. Tidak boleh berhenti pada level individu semata (ritual
formal, mu’amalah ma’allah yang vertikal).
Inilah esensi keimanan yang mendalam. Iman
dalam rumusan para ulama diyatakan sebagai ”keyakinan dengan hati, penegasan
dengan lisan serta pembuktian dengan amal orga jasad kita”. Artinya, iman
berdimensi tiga sekaligus. Tidak terwujudnya salahsatu diantara tiga hal tersebut,
secara otomatis mencederai makna iman itu sendiri.
Berbeda dengan kaum Murji’ah, sebagaimana
diterangkan oleh Imam Ibnu Taymiyah,[33]
menyatakan bahwa, iman hanyalah keyakinan atau perbuatan hati semata, tanpa
aktualisasi kongkret. Mereka populer dengan doktrin ”لاتضر مع الإيمان معصية كما لا
تنفع مع الكفر طاعة” [34](derajat
keimanan tidak akan berkurang karena laku maksiat, sebagaimana ketaatan kepada
Allah SWT tidak akan mempengaruhi kekufuran).
Kaum Murji’ah dengan varian yang lain, Al-Karamiyah,
menyatakan iman ialah pernyataan lisan semata. Yang lain, versi Murji’ah
Fuqaha’, menyatakan, iman cukup dengan keyakinan hati dan pernyataan
verbal. Ketiga rumusan Murji’ah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, mereka
tidak memerlukan amal sebagai aktualisasi kongkret keimanan yang bersemayam di
hati manusia.
Spirit yang dipancarkan oleh gerak-dakwah
KH Ahmad Dahlan tentunya meluluh-lantahkan dogma-dogma teologis ’sempalan’
(baca : menyimpang) sebagaimana digagas oleh kaum Murji’ah di atas. Bahkan,
berbagai prestasi kesalehan pribadi dalam wujud ritual vertikal semata,
digugat. ”Apakah hasil dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?,
apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kamu masih sangat kerap dengan
kebiasaan dan cinta kepada harta benda” kata KH Ahmad Dahlan[35]
membangkitkan kesadaran dan empati sosial murid-muridnya, termasuk kita saat
ini.
Dalam satu kesempatan KH Ahmad Dahlan
berkata demikian,
”Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati
sendiri, Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentigan agama?
Itulah yang lebih
diperluka pada waktu sekarang ini.”[36]
Nilai
ajaran berupa ketulusan berbuat kebaikan dan mengorbankan harta benda yang
ditauladankan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut berlandaskan pada surat Al-Ma’un
ayat 1-7 :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ
بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ
الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ
سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (الْمَاعُونَ:
1-7)[37]
Dalam
satu kisah disebutkan, KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat ini berulang kali,
sehingga beberapa hari pelajaran tidak bertambah. Haji Syuja’, salah satu murid
beliau bertanya “kok pelajaran tidak ditambah?”. Beliau kembali bertanya kepada
murid-muridnya apakah betul-betul telah dimengerti. Haji Syuja’ menyatakan
bahwa ia dan kawan-kawannya telah hafal semua. Kyai bertanya, “Apa sudah
diamalkan?”. Dijawab, “kami telah berulang kali membacanya ketika shalat.”
“Bukan itu yang kumaksud. Diamalkan berarti dikerjakan, dipraktekkan”, jelas Kyai. “Oleh karena itu”,
lanjut Kyai, “mulai pagi ini pergilah berkeliling mencari orang miskin. Kalau
sudah mendapat, bawalah pulang ke rumah masing-masing. Berilah mereka sabun
yang baik untuk mandi, berilah pakaian yang bersih, berilah makanan, minuman
dan temat tinggal untuk tidur di rumah kamu sekalian. Sekarang juga pengajian
saya tutup dan saudara melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.”[38]
Jika
kita bertanya, seberapa dalamkah makna surat Al-Ma’un menembus relung jiwa KH
Ahmad Dahlan (?). Betapa tidak, dengan tujuh ayat ini, dan dikdukung oleh ayat-ayat
lainnya, beliau mampu mengawali dakwahnya dengan aksi untuk kemanusiaan yang
tercatat oleh tinta emas sejarah Islam Indonesia, di saat kita, mungkin saja,
telah menghafal ratusan ayat Al-Qur’an, namun seringkali minus bukti nyata.
Penulis
merenung sejenak, mencoba mereka-reka ’apa yang menjadi kegelisahan KH Ahmad
Dahlan ketika membaca ayat ini’ : ” Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
al-Din?”. Al-Imam Ibnu Jarir al-Thabary menjelaskannya sebagai sikap
mendustakan hukum dan imbalan Allah SWT.[39]
Al-Imam Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai pengingkaran terhadap imbalan dan
penghitungan Allah SWT terhadap hamba-hambaNya di hari Akhir.[40]
”Tidakkah kau wahai Muhammad, melihat orang yang telah mendustakan hari di mana
mereka akan dikembalikan, dibalas, dan diberi ganjaran (din)?”, terang
Ibnu Katsir.[41]
Menurut Al-Maraghi, ayat ini menunjukkan
sebuah pertanyaan dengan penuh keheranan, dengan maksud agar si pembaca
tertarik untuk mengetahui siapa yang dimaksud. Orang seperti ini telah
menjerumuskan dirinya kepada sesuatu yang sangat berbahaya dan meyengsarakan
dirinya; ia mendustakan suatu realitas absolut di balik yang terindera, berkenaan dengan perkara-perkara ilahiyah (ghaibiyat)
yang tak kan mungkin terjangkau hakekatnya oleh manusia. Realitas tersebut hanya
dapat ditangkap oleh manusia melalui bukti-bukti ciptaanNya. Semua itu
(semestinya) membangkitkan naluri untuk patuh dan tunduk serta yakin akan
eksistensi Allah SWT dan keesaan-Nya, membenarkan kehidupan akherat, di mana
mereka aka dihadapkan kepada Allah SWT untuk menerima balasan : semuanya telah
didustakan![42]
Al-Imam Sayyid Qutb menerangkan bahwa
sikap mendustakan agama diwujudkan dalam bentuk kehilangan empati dan
kepedulian terhadap anak yatim, termasuk tidak tertarik untuk mengajurkan orang
lain untuk memberi makanan kepada fakir miskin. Jika sikap membenarkan agama
telah bersemayam mantap di hatinya, tidak mungkin ia melalaikan kewajiban
sosial tersebut. Sikap tashdiq
semestinya membangkitkannya untuk berbuat kebaikan kepada sesama, bukan
sekedar pernyataan lisan.
Agama Islam, dalam padangan Sayyid
Quthb,bukanlah agama simbol dan lambang semata. Tidaklah cuku beragama degan
hanya menonjolkan simbol dan syiar ritual/ibadah saja, jika tidak didasari atas
keikhlasan kepada Allah SWT. Sikap ikhlas mendorong kita untuk melakukan amal
sholeh yang tercermin dalam prilaku da aksi untuyk memperbaiki dab meningkatkan
tarap hidup umat manusia di muka bumi ini.
Agama Islam, lanjutnnya, bukan ula
aturan-aturan yang parsial, terpilah-pilah
serta terlepas antara satu dengan yang lainnya; manusia tidak dapat
bertindak dan meninggalkan sesuatu sekehendaknya. Teta Islam adalah manhaj
”sistem” yang saling terkait dan melengkapi, saling berkolerasi erat antara
ritual vertikal dan tugas individu serta keharusan sosialnya. Semuanya
berorientasi kepada kepentingan manusia dengan tujuan mensucikan hati,
memperbaiki kehidupan, tolong menolong serta bahu membahu untuk sebuah karya
kebaikan dan kesalehan bersama. Inilah
yang mencerminkan rahmat Allah SWT atas hamba-hambaNya.[43]
Dalam pandangan penulis, dari berbagai
tafsiran para ulama, kata ”din”, penulis lebih cenderung untuk dimaknai
sebagai ”agama” yang merupakan satu kesatuan sistem ajaran menyeluruh yang
diturunkan oleh Allah SWT untuk kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akherat.
Dengan demikian, takdzib bi al-din (mendustakan agama) berarti
mengingkari keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW, lahir
maupun batin. Mengingkari seluruh kandugan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Tentunya, pemaknaan yang sedemikian lebih berat dan lebih tajam merasuk ke
relung qalbu kita yang suci. Berbeda, jika ”din” yang dimaknai sebagai yaum
al-akhir, yang merupakan salah satu cabang dari perkara keimanan.
Anak yatim, dalam pandangan Islam, amatlah
mulia. Keberadaannya yang diikuti dengan sikap empati dan uluran kebaikan,
menjadi garansi kemuliaan pelakuanya di sisi Allah SWT. Bahkan mencederai
hak-haknya menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang membiasakan pelakunya.
Tentang firman Allah “وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ
الْمِسْكِينِ “, Prof. Quraish Shihab menggaris-bawahi tentang gaya
bahasa dan redaksional yang tertulis. Pertama, ayat ii tidak berbicara
tentang kewajiban “memberi makanan” (إطعام), tetapi berbicara
tentang kewajiban “menganjurka memberi makan”. Ini berarti bahwa mereka yang
tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai “penganjur
memberi makanan kepada orang miskin”. Atau dengan kata lain, kalau kita tidak
mampu secara langsung memberi santunan dan perhatian kepada fakir miskin,
minimal kita harus menganjurkan orang-orang yang berkemampuan memperhatika
nasib mereka.
Pesan ini dapat dilakukan oleh siapapun,
selama mereka dapat merasakan penderitaan orang lain. Ini berarti ula bahwa
ayat tersebut mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan dan
kebutuhan orang lain, walaupun ia sendiri tidak mampu megulurkan bantuan materi
kepada mereka. Jadi, ayat di atas tidak memberi peluang sedikitpun untuk tidak
berpartisipasi memberikan perhatian kepada setiap orang yang lemah dan
membutuhkan bantuan.
Kedua, ayat tersebut tidak menggunakan redaksi (إطعام) yang artinya
“memberi makan”, tetapi menggunakan kata “طعام” yang artinya “makanan atau
pangan”. Ini merupakan peringatan agar setiap orang yan g menganjurka atau yag
memberi, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang
membutuhkan.[44]
Dalam
pandangan KH Ahmad Dahlan, tafsiran surat Al-Ma’un di atas, ditegaskan pula
oleh firman Allah SWT berikut ini :
كَلَّا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ.
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا
لَمًّا. وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا. كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ
دَكًّا دَكًّا. وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ
بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى
(الفجر: 17-23)[45]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا
جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (
التوبة : 34-35)[46]
Surat Taubah
termaktub di atas, sangat menggocangkan hati KH Ahmad Dahlan dan menimbulkan
semangat yang berkobar-kobar untuk mengorbankan harta benda. Banyak kalangan
ulama yang berpedapat bahwa ayat tersebut di address-kan sebagai ancaman
orang yang engga mengeluarkan zakat. Lalu dipahami, jika telah berzakat aman
dari ancaman siksa yang pedih. KH Ahmad Dahlan berpedapat bahwa ayat tersebut
tidak hanya megancam orang yang enggan mengeluarkan zakat saja, tetapi juga
acaman bagi orang yang menyimpan harta beda untuk kepentingan diri sendiri,
tidak mendermakannya di jalan Allah SWT. Mereka ini diacam dengan siksa yang
pedih.[47]
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا ًّ
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
BAB III
KESIMPULAN
17 kelompok ayat Al-Qur’an
yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri Persyarikatan
Muhammadiyah adalah sebagai berikut; (1) Membersihkan diri sendiri, Al-Jâtsiyah
ayat 23; (2) Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda, al-Fajr ayat
17-23; (3) Orang yang mendustakan agama, al-Mâ’ûn ayat 1-7; (4)
Apakah artinya agama itu, al-Rûm ayat 30; (5) Islam dan sosialisme, al-Tawbah
ayat 34-35; (6) Surat al-‘Ashr ayat 1-3; (7) Iman/kepercayaan, al-‘Ankabût
ayat 1-3; (8) Amal sholeh, al-Kahf ayat 110 dan al-Zumar ayat 2[48];
(9) Wa tawâshaw bil haqq, Yûnus ayat 108, al-Kahf ayat 29, Muhammad
ayat 3, al-An’âm ayat 116, al-Furqân ayat 44, al-Anbiyâ’ ayat 24, Yûnus ayat
32, al-Shaff ayat 9, al-Baqarah ayat 147, al-Anfâl ayat 8, al-Isrâ’ ayat 81 dan
al-Mu’minûn ayat 70; (10) Wa tawâshaw bish-shabri; (11) Jihad, Âli
‘Imrân ayat 142; (12) Wa anâ minal muslimîn, al-An’âm ayat 162-163;
(13) Al-Birru, Âli ‘Imrân ayat 92; (14) Surat al-Qâri’ah ayat 6-11;
(15) Surat al-Shaff ayat 2-3; (16) Menjaga diri, al-Tahrîm
ayat 6; dan terakhir (17) Apakah belum waktunya, surat al-Hadîd
ayat 16.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Tafsir Al-Qur’a Kontemporer Juz Amma
(Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cetakan V, Jilid I, hal. 105.
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di
Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani
Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 263-264
M Yusron
Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya
(Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
KRH Hadjid,
“Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA
Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an
[Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 58-59
[1] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan
dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran
dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal.
2-4
[2] KH Ahmad
Dahlan diriwayatkan pula sering menukil perkataan ahli hikmah berikut ini :
الناس كلهم موتىَ إلا العلماء والعلماء متحيِّرون إلاالعاملون والعاملون على
وجلٍ إلا المخلصون
[3] KH Ahmad Dahlan diriwayatkan pula sering
menukil perkataan ahli hikmah berikut ini :
الناس كلهم
موتىَ إلا العلماء والعلماء متحيِّرون إلاالعاملون والعاملون على وجلٍ إلا
المخلصون
[4] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 45-47
[5] Ibid…hal. 48
[6] Ibid…hal. 48-51
[7] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit
Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta: Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1,
hal.33
[8] Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
[9] Surat Ali Imran : 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[10]
[Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي
إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي
جَنَّتِي
[11] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ اللَّهَ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
[14] زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ
غَيًّا(مريم:59)
[15] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]
[16] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia
sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]
[17] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 52-60
[18] Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)
[19] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim, IV/311
[20] Ibnu Juraimi, “Optimalisasi Masjid
Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah Islam Kontemporer; Tantangan
dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet. 1, hal. 204
[21] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin
Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta:
Robbani Press, 2000), Cet. Ke-3, hal. 100
[22] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin …
hal. 33
[23] ( أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمسا
ما تقول ذلك يبقي من درنه ) . قالوا لا يبقى من درنه شيئا قال ( فذلك مثل الصلوات
الخمس يمحو الله بها الخطايا ) HR Bukhari & Muslim
[24] “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku”. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Ra’d ayat 28 berikut
ini :
الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
[25] “ Sesungguhnya orang-orang yang diberi
pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha
Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.”
[26] Komaruddin Hidayat, Psikologi
Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (Bandung : Hikmah, 2006),
Cet. VII, hal. 73-75
[27] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad
Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet.
1, hal. 66
[28] Ibid. hal. 67
[29] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 57-58
[30] Ibid, hal. 58-59
[31] “Hai Dahlan, Sungguh bahaya yang
menyusahkan itu lebih besar dan perkara-perkara yang mengejutkan ada di
hadapanmu, dan pasti kau akan menemui kenyataan yang demikian itu, entah dengan
selamat ataupun dengan kebinasaan. Hai Dahlan, bayangkanlah hanya dirimu sendiri berhadapan dengan Allah,
sementara di depanmu ada maut yang menanti, ditampakkan segala urusan,
penghitungan atas segala amal, juga ada surga dan ada neraka. Dan renungkanlah
apa-apa yang mendekatimu dari sesuatu yang ada di hadapanmu, yaitu maut, dan
tinggalkanlah dari dirimu selain itu.”
[32] Makalah Tadabbur Al-Qur’an disampaikan dalam
acara qiyamullail kader IMM di
Universitas Ahmad Dahlan, Ahad 2 Jumadal
Akhir 1428 H/17 Juni 2007 H
[33]
Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa, VII/195. Lihat juga, Muhammad Ba Karim
Muhammad Ba Abdullah, Wasathiyatu Ahlis Sunnah Baya Al-Firaq, hal.
335-336
[34]
Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, I/139
[35]
KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran
KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an
[Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 58-59
[36] M
Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya
(Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
[37] Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya. dan enggan (menolong dengan)
barang berguna.
[38] M Yusron Asrofie, Kyai
Haji Ahmad Dahlan…hal. 71-72. Menukil dari, KH Asnawi Hadisiswaja, Kyahi
Hadji Ahmad Dahlan, dalam Pandji Masjarakat, No. 3, Tahun 1959, hal. 17
[39] Tafsir Al-Thabari, XII/705
[40] Tafsir Al-Qurthuby, XX/193
[41] Ibnu Katsir, IV/558
[42] Tafsir Al-Maraghi, X/498-499
[43] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema
Insani Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 263-264
[44] Amiruddin, Tafsir Al-Qur’a Kontemporer
Juz Amma (Bandung: Khazanah Intelektual, 2006), Cetakan V, Jilid I, hal.
105.
[45] Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling
mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara
mencampur baurkan (yang halal Aam dan
yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan
berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. dan pada
hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan
tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
[46] Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian
besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu".
[47] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad
Dahlan…hal. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar